Aqiqah merupakan sunnah yang dianjurkan oleh Nabi Muhammad SAW kepada setiap orang tua yang telah dikaruniai dengan seorang anak, sebagai tanda syukur kepada Allah SWT. Sebagaimana sabda nabi dari sayyidah ‘Aisyah. Nabi saw bersabda :
“Anak digadaikan dengan aqiqahnya yang (idealnya) disembelih dari hari ketujuh (kelahirannya) dan dipotong rambut kepalanya serta diberi nama.”
Sunnah menukaikan aqiqah seorang anak sebelum baligh sebenarnya dibebankan kepada orang tua anak. Dengan begitu, manfaat dari mengaqiqahkan anak yaitu kelak anaknya dapat memberikan safaat yang bisa diperoleh oleh orang tua ketika telah menunaikannya. Sebagaimana telah dijelaskan Ibnu Hajar al-Haitami dalam Fatawa al-Kubra:
“Berbeda dengan aqiqah, maka sesungguhnya kemanfaatan aqiqah menyebabkan anak dapat mensyafaati ayahnya. Seperti yang dikatakan para mujtahid.”
Hukum Aqiqah
Hukum dari aqiqah sendiri sama halnya dengan qurban dari berbagai aspek, sebagaimana fatwa Abu Bakar bin Muhammad Syatha al-Dimyati dalam karyanya I’anah al-Thalibin ( juz 2, vol.560 ):
“Aqiqah seperti qurban dalam mayoritas hukumnya, meliputi dalam jenis, umur, tidak memiliki aib, niat, memakanya, menyedekahkan, wajib sebab nadzar atau sebab menjadikanya sebagai kesanggupan”.
Dari fatwa tersebut dijelaskan bahwa, orang tua yang mengaqiqahi anaknya hukumnya sama dengan berkurban untuk dirinya sendiri, sehingga berlaku konsekuensi seperti qurban untuk diri sendiri.
Hukum Memakan Daging Aqiqah Anak
Berdasarkan dengan niatnya, terdapat beberapa kategori aqiqah. Hukum memakan daging aqiqah anak simak ulasan berikut.
1. Aqiqah Sunnah
Pada kategori ini, maka siapapun boleh memakan daging binatang yang dibuat untuk aqiqah, termasuk ayah dan ibu dari anak tersebut. Seperti halnya hukum dalam qurban sunnah. Ibnu hajar al-Haitami dalam Fatawa al-Kubra menjelaskan:
“Dari ketentuan ini (mengaqiqahi anak seperti berqurban untuk dirinya sendiri), maka diperbolehkan baginya (ayah) memakan daging aqiqah tersebut seperti halnya diperbolehkan memakan daging qurban dari dirinya sendiri.”
2. Aqiqah Nazar
Pada kategori ini, aqiqah menjadi wajib karena orang tua telah bernazar atau menyanggupi dan menentukan kambing tertentu yang akan digunakan untuk mengaqiqahi anaknya, maka dia dan orang yang wajib dinafkahinya (termasuk ibu dari anak yang diaqikahi) dilarang memakan daging tersebut, seperti halnya dalam permasalahan qurban. Abu Bakar bin Muhammad Syatho al-Dimyati dalam karyanya I’anah al-Thalibin ( juz 2, vol.560 )
“Dan aqiqah yang wajib ( ta’yin ) sebab nadzar maupun kesanggupan, seperti berkata “ Bagi allah atasku, saya beraqiqah dengan kambing ini” atau berkata “ saya jadikan binatang ini sebagai aqiqah dari anakku “maka menjadi wajib ( ta’yin ) dan tidak boleh sama sekali memakan binatang aqiqah tersebut.”
Dalam Tausyek Ibnu Qosim vol.271 dijelaskan:
“Dan orang yang berqurban serta orang yang wajib dinafkahi olehnya tidak boleh memakan sedikitpun dari qurban wajib sebab nadzar tersebut”
3. Aqiqah Wasiat
apabila aqiqah dari seorang yang meninggal dunia berdasarkan wasiat kepadanya, maka dia (orang yang diwasiatkan) dan orang-orang kaya dilarang memakan daging aqiqah tersebut, sebagaimana hukum dalam qurban. Sesuai dengan penjelasan Ibnu Hajar al-Haitami dalam karyanya Tuhfah al-Muhtaj ( juz.9, vol.369 ):
“Apabila dia berqurban dari orang lain, seperti halnya mayat yang berwasiyah kepadanya untuk berqurban atas nama dirinya si mayit, maka dia (orang yang diwasiatkan ) dan orang-orang kaya tidak boleh memakan daging tersebut. Imam Qaffal mengalasi sebab sesungguhnya qurban diperuntukkan untuk si mayat maka tidak halal memakan (bagi orang yang diwasiati dan orang kaya) kecuali dengan izin, dan meminta izin pasti sebuah udzur (tidak mungkin ).”