Aqiqah menjadi salah satu hal yang dianjurkan untuk dilakukan bagi setiap Muslim yang telah dikaruniai seorang anak. Aqiqah akan dilaksanakan ketika usia 7 hari dari seorang bayi. Namun apabila tidak mampu melaksanakan pada hari ke 7 maka boleh melakukannya pada hari ke 14 atau 21. Namun bagaimana jika orang tua tidak mampu melaksanakan Aqiqah.? Apakah boleh diri sendiri menunaikannya dikala mampu.?
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin pernah ditanya tentang orang yang belum pernah mengaqiqahi anak-anak kemudian meninggal, apakah suatu keharusan mengaqiqahi anak-anak menjadi gugur? Ataukah anak-anak itu yang mengaqiqahi diri mereka sendiri?
Beliau rahimahullah menjawab:
Aqiqah itu sunnah muakkadah (amalan sunat yang sangat ditekankan-red) bagi orang yang mampu untuk melakukannya, yaitu penyembelihan dua ekor kambing jika bayinya laki dan satu ekor kambing jika bayinya perempuan. Paling bagus, hewan-hewan itu disembelih pada hari ketujuh dari hari kelahiran bayi yang diaqiqahi. Misalnya, lahir pada hari Selasa, maka diaqiqahi pada senin berikutnya; Jika hari Jum’at, maka hari Kamis diaqiqahi dan begitu seterusnya. Jika tidak bisa melaksanakannya pada hari ketujuh, maka pada hari ke-14; Jika pada hari ke-14 juga belum bisa, maka dilaksanakan pada hari ke-21; Jika pada hari itu juga belum bisa, maka kapan saja bisa dilaksanakan. Itulah pendapat para Ulama ahli fikih.
Jika orang tua tidak memiliki kemampuan untuk melakukannya pada hari itu, maka suatu keharusan melaksanakan aqiqah itu menjadi gugur. Karena aqiqah disyari’atkan bagi orang-orang yang memiliki kemampuan. Adapun orang-orang yang tidak memiliki kemampuan untuk melakukannya, maka dia tidak dibebani untuk melakukannya, sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :
Maka bertakwalah kamu kepada Allâh menurut kesanggupanmu [At-Taghâbun/64:16]
Dan firman-Nya:ا
Allah tidak perasaan seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. [Al-Baqarah/2:286]
Jadi orang tua yang sudah meninggal itu dan memiliki beberapa anak yang belum sempat diaqiqahi, maka kita lihat keadaannya:
Jika dia termasuk orang-orang yang memiliki kesulitan dalam masalah ekonomi sehingga dia tidak bisa mengaqiqahi anak-anak, maka anak-anak itu tidak memiliki kewajiban untuk mengqadha’ pelaksanaan aqiqah itu, karena orang tua ketika itu tidak terkena beban syariat ini.
Jika dia (semasa hidupnya-red) termasuk orang-orang yang kaya, tetapi dia tidak mengaqiqahi anak-anak karena meremehkan syari’at ini, maka ini tergantung keadaan dan kesepakatan ahli warisnya. Maksudnya, jika diantara ahli warisnya ada yang memiliki keterbatasan akal, keterbelakangan mental atau ada yang belum baligh, maka bagian mereka tidak boleh diambil untuk melaksanakan aqiqah ini.
Jika semua warisnya mursyidûn (berakal sehat dan memiliki kemampuan untuk mengelola hartanya dengan baik-red), maka mereka ingin menghargai dan ingin menunaikan aqiqah itu dengan menggunakan harta warisan orang tua, maka itu tidak apa-apa.
Jika itu tidak terjadi lalu masing-masing dari anak-anak itu berkeinginan untuk mengaqiqahi diri mereka sendiri sebagai wakil dari orang tua mereka atau sebagai qadha’ dari kewajiban orang tua mereka, maka itu juga tidak apa-apa.
Di tempat lain, beliau rahimahullah perbedaan menyebutkan pendapat para Ulama tentang orang yang mengaqiqahi dirinya. Beliau rahimahullah mengatakan bahwa sebagian para Ulama memandangnya boleh seseorang mengaqiqahi dirinya sendiri, jika dia tahu orang tuanya belum mengaqiqahinya. Namun sebagian Ulama yang memandang bahwa aqiqah dibebankan hanya kepada orang tua. Jika orang tua melaksanakan mengaqiqahi anaknya, maka dia berhak mendapatkan pahala. Jika tidak, maka dia tidak mendapatkan pahala.